Thursday, January 8, 2015

Peluang Bisnis dan Perhitungan Pajak Sewa Rental Kendaraan




Dulu orang bilang menyewa lebih mahal ketimbang beli. Sekarang justru sebaliknya, dalam jangka panjang, dan terutama bagi perusahaan besar, menyewa jauh lebih murah ketimbang membeli.

Menyewa hanya keluar biaya sewa, sementara kalau membeli ada biaya perawatan, penyusutan, perbaikan. Belum lagi kalau dibutuhkan tenaga kerja yang merawat, urusannya jadi lebih ribet.

Efisiensi menghendaki perusahaan lebih fokus pada aktifitas utama, dan sebanyak mungkin mengurangi beban rutin harian. Tujuannya jelas, mengurangi biaya tetap.

Jadi sekarang sudah jamak kalau dispenser parfum yang harganya kurang dari 200 ribupun disewa. Dengan begitu manajemen tinggal mikir biaya sewa tapi tidak perlu membuat anggaran biaya perawatan, membeli isi ulangnya, dan kalau ngadat tinggal minta diganti.

Ngurus mobil lebih ribet. Setiap hari harus periksa oli, air radiator, tekanan ban, mencuci, membersihkan interior. Minimal harus ada tenaga yang ngurus kendaraan, dan justru kehadiran karyawan tetap itu yang malah bikin urusan tambah ribet. Belum lagi kalau kendaraan rewel, ada karyawan yang jam kerjanya harus terbuang percuma untuk ke bengkel. Bagaimana pula kalau spare partnya harus inden, sementara operasional perusahaan tidak bisa ditunda?

Dengan menyewa maka segala biang keribetan bisa diatasi hanya dengan sekali telepon. Kalau perlu, minta ganti kendaraan. Sementara urusan harian sudah dikerjakan oleh driver yang disewa bersama kendaraan.

Untuk konsumen corporate, porsi kuenya masih tersedia cukup besar untuk dinikmati, tapi bagaimana dengan konsumen pribadi?

Semakin banyak teman-teman di Jakarta, Surabaya, Bandung bahkan juga di kota kecil seperti Wonosari, sukses mengelola usaha sewa kendaraan untuk konsumen pribadi. Lima tahun lalu, hari Sabtu dan Minggu merupakan peak season. Belakangan, diluar masa libur sekolah dan hari kejepit nasional, order dari konsumen pribadi nyaris tiada henti setiap hari sepanjang minggu. Dan empat hari menjelang libur nasional diluar lebaran dan tahun baru, tidak ada lagi kendaraan tersisa kecuali yang dibatalkan oleh pemesannya.

Seandainya pemerintah konsisten dengan rencana mewajibkan kendaraan plat merah menggunakan petamax, saya yakin instansi pemerintah bakal rame-rame sewa kendaraan untuk menekan biaya BBM.



Jujur saja, tidak mudah berurusan dengan pajak. Jadi kalau ingin all out terjun ke bisnis rental mobil, sebaiknya belajar dan bersiap-siap menghadapi repotnya berurusan dengan pajak.

Pajaknya sendiri sebenarnya tidak sulit. Tinggal hitung dan bayar, beres. Cara menghitungnya juga tidak sulit. Masalahnya, kadang kita berurusan dengan customer yang tidak tertib menyerahkan bukti potong pajak, atau ngatur tagihan seenak udel, minta kuitansi tagihan dipisah-pisah, lalu dengan dalih nominal masing-masing tagihan dibawah satu juta, terus tidak mau bayar PPn.

Paling mudah memang menjalankan bisnis tanpa ijin. Tidak berurusan dengan pajak adalah surganya bisnis. Bisa luwes menyesuaikan diri dengan perubahan iklim bisnis yang sering tidak menentu. Tapi menurut saya, kalau memang niat bisnis, jangan tanggung-tanggung.

Tanpa NPWP dan SIUP, kita hanya bisa melayani konsumen perorangan yang kebanyakan menyewa lepas kunci, dengan harga sewa lebih rendah dibanding konsumen corporate, dan menggunakan kendaraan seenak udel – asal saat dikembalikan kendaraan nampak utuh seperti saat diterima. Kalau terjadi kerusakan atau kecelakaan, lebih banyak ngeles daripada bertanggungjawab.

Nikmatnya kue bisnis rental mobil juga baru bisa dirasakan kalau kita menyasar konsumen corporate. Selain tarif sewa relatif lebih tinggi, kendaraan tidak diforsir, dan kesinambungan order lebih terjamin.

Sebagai badan hukum atau usaha perseorangan, usaha rental akan berurusan dengan Pajak Penjualan (PPn) dan Pajak Penghasilan (PPh). Sebaiknya jangan berusaha ngakali PPn dengan menggunakan ijin biro perjalanan. Tarif PPn biro perjalanan hanya 1% dari nominal pembayaran, sementara instansi pemerintah tetap akan setor 10%. Lebih bayar, selama berurusan dengan pajak, lebih banyak celakanya daripada untung.

Pph atau Pajak Penghasilan yang harus dibayar adalah PPh Pasal 25 – Badan atau perorangan, terantung ijin usaha, PPh Pasal 21 – minimal pajak pribadi, dan PPh 23 – pajak penghasilan atas penggunaan harta selain rumah dan tanah.

PPh Pasal 21 dan 25 tidak akan saya bahas. Asal sistem akuntansi tertib, tidak sulit menghitung keduanya – walaupun kadang terasa berat saat membayar. Masalah sering terjadi pada PPh pasal 23 – dan akan berimbas pada perhitungan PPh Pasal 29, karena pajak ini berkaitan dengan pihak luar yang kadang suka semau gue dalam urusan pajak.

Ada dua pihak yang harus diurus PPh Pasal 23 nya. Pertama adalah customer yang memotong PPh Pasal 23 sebesar 2 persen dari total uang yang dibayarkan. Kedua adalah supplier – seandainya kita menggunakan kendaraan orang lain.

Seharusnya, prosedur PPh Pasal 23 tidak rumit. Customer memotong pajak 2% (tarif tahun 2009) dari total uang yang dibayarkan, kemudian mereka menyerahkan bukti potong PPh Pasal 23. Copy bukti potong tersebut nantinya dilampirkan dalam SPT Tahunan, dan nominal pajak yang sudah dipotong digunakan sebagai pengurang atas kewajiban pajak perusahaan yang masih terhutang pada akhir tahun.

Misalnya, pada hitungan setelah tutup buku ternyata usaha Anda terhutang pajak Rp 25 juta, sementara selama setahun penghasilan kotor Anda sudah dipotong PPh Pasal 23 sebesar Rp 23 juta, maka untuk melunasi hutang pajak, Anda tinggal membayar Rp 2 juta saja.

Hitungannya tidak sulit. Saya hanya butuh waktu kurang dari 2 jam untuk memahami. Tapi prosedur untuk mendapatkan bukti potong dari customer yang tidak tertib administrasi seringkali jauh lebih sulit ketimbang menagih uang sewanya. Tidak terlalu berlebihan seandainya saya bilang lebih gampang nagih utang pada tukang ngemplang daripada nagih bukti potong PPh Pasal 23.

Masalah seperti ini tidak hanya terjadi pada customer corporate kelas gurem saja. Beberapa BUMN tidak kalah ruwet dalam urusan PPh pasal 23. Lebih repot lagi seandainya orang yang memberi order sewa ternyata tidak akur dengan bagian akuntansi. Di depan omongnya enak, giliran urusan pajak, saling lempar tanggungjawab.

Tanpa bukti potong yang sah, kita tidak bisa begitu saja mengkreditkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong oleh customer sebagai pengurang PPh Pasal 29 terhutang.

Bingung? Tidak apa-apa. tidak perlu ke dokter atau minum obat. Harus disadari betul bahwa bingung juga merupakan bagian dari menu sehari-hari pengusaha. Kalau sampai urusan pajak membuat Anda suntuk dan Anda membutuhkan petunjuk, silakan konsultasi ke KPP. Gratis – tapi sayang, tidak dijamin menyelesaikan masalah, karena masalahnya bukan dengan KPP melainkan dengan pihak customer.

Kalau Anda juga menggunakan kendaraan supplier, dengan sangat menyesal terpaksa cerita PPh Pasal 23 nya belum selesai. – Tapi disambung lain kali ya, postingan ini sudah kelewat panjang.



 
Perhitungan PPh Pasal 23 atas Penyedia Jasa Sewa Kendaraan. Karena masih banyak yang belum memahami bagaimana cara menghitung PPh Psl 23 atas objek pajak penyedia sewa kendaraan. Maka kali ini saya akan berusaha memberikan contoh cara menghitung PPh pasal 23 bagi Anda yang memiliki usaha rental mobil dll.

#Ilustrasi
Jika harga sewa kendaraan 1 hari adalah 2.200.000 sudah termasuk PPN, yang di kenakan PPh pasal 23 atas harga yang mana, setelah PPN atau sebelum PPN?

#Cara Menghitung
Langkah pertama tentukan dulu DPP PPN dan PPh psl 23.
DPPnya kebetulan sama, jadi, sekali tepuk dapat 2.

2.200.000 = H + PPN
2.200.000 = H + 10% H
2.200.000 = 110% H
H = 2.200.000/110%
H = 2.000.000

PPN = 10% x 2.000.000
PPN = 200.000

PPh 23 = 2% x 2.000.000
PPh 23 = 40.000

Perhitungan jumlah yang dibayar oleh pengguna :

Harga (Nilai ) Sewa = 2.000.000
PPN                        = 200.000 +
Total Nilai Kontrak  = 2.200.000
PPh 23                    = 40.000 -
Dibayarkan ke pemilik Kendaraan = 2.160.000

Semoga penjelasan Perhitungan PPh Pasal 23 atas Penyedia Jasa Sewa Kendaraan diatas bisa Anda pahami. Jika belum jelas bisa Anda tanyakan disini.



Jika suatu instansi menyewa mobil sebesar 600rb apa kena PPN atau PPh?
Catatan : Pemilik mobil tersebut tidak punya NPWP, berapa jadi pajaknya?


Soal dikenakan PPN, harus pastikan dulu apakah si pemberi sewa sudah PKP atau belum? Kalau sudah PKP maka si pemberi sewa wajib memungut PPN tapi kalau belum PKP tidak boleh memungut PPN.

PKP itu Pengusaha Kena Pajak, jadi apabila wajib pajak (WP) telah dikukuhkan sebagai PKP maka si WP tsb wajib memungut PPN atas penyerahan BKP/JKP.

Kalau soal pemotongan PPh itu adalah dilakukan oleh si penerima sewa, dan harus dipotong PPh 23 : 600.000 x 4% (Karena tidak ada NPWP, Jika ada 2%)

Tidak melihat Orang Pribadi ataupun Badan, selama penghasilannya dari sewa (selain tanah / bangunan) maka dikenakan PPh 23.


...

Artikel lain yang berhubungan klik disini...

No comments:

Post a Comment

Share Your Inspiration...